MAKALAH AGAMA
Diajukan untuk memenuhi tugas
Matakuliah Agama
Dosen Pengampu: Muslim, S.Ag.,M.A
Disusun Oleh :
Muhammad Ilham Rahmatullah L (120401080003)
PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas makalah Agama yang berjudul “Hukum Islam, Demokrasi, dan HAM” tepat pada waktunya.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Seperti halnya pepatah “ tak ada gading yang tak retak “, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua kalangan yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Akhir kata, penyusun ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Serta berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.
Amin
Malang, 26 Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................ i
Daftar Isi ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Islam, Sumber Hukum Islam, Prinsip Hukum
Islam, dan Fungsi Hukum Islam ................................................... 4
2.2 Demokrasi dalam Islam dan dalam konsep barat ......................... 6
2.3 Hak dan Kewajiban Asasi dalam Islam ........................................ 9
2.4 Kontribusi Umat Islam dalam Perundang-undangan
di Indonesia .................................................................................. 12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................. 17
3.2 Saran ............................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada Saat ini banyak sekali Negara yang menganut Sistem Demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Demokrasi sendiri artinya sistem yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hukum. Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi dirinya sendiri dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab terhadap tugasnya. Oleh karena rakyat tidak mungkin rakyat mengambil keputusan karena jumlah terlalu besar maka dibentuklah dewan perwakilan rakyat. Sistem ini popular karena melibatkan masyarakat merupakan komponen utamanya.
Pemerintah dipilh langsung oleh rakyat yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi dan membuat kebijakan untuk kepentingan rakyat demi kesejahteraan rakyat. Sistem Demokrasi juga digunakan di Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Indonesia memiliki Badan Legislatif yang anggotanya merupakan wakil rakyat. Rakyat juga berwenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Dalam Islam, demokrasi sudah diajarkan oleh Rasulullah. Contohnya, pada saat Perang Badar beliau mendengarkan saran sahabatnya mengenai lokasi perang walaupun itu bukan pilihan yang diajukan olehnya. Pada saat ini, banyak Negara yang mengadaptasi sistem Demokrasi yang berasal dari Negara Barat. Padahal, sistem demokrasi tersebut belum tentu sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Sistem Demokrasi di Barat memiliki tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan materialistis. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari Sistem Demokrasi yang sejalan dengan aturan Islam.
Pada hakekatnya manusia sudah memiliki hak-hak pokok dari lahir sampai meninggal. Hak-hak pokok tersebut adalah hak asasi manuasia yang dikenal dengan HAM. Hak asasi manusia bersifat universal. Hak asasi manusia ( HAM ) dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu”. Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, status sosialnya, dan juga perbedaan agamanya. Islam tidak hanya menjadikan itu sebagai kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini.
Disisi lain umat Islam sering kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum bisa diterima secara utuh. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa timbal balik, sementara yang lain, justru bersikap ekstrim. Menolak bahkan mengharamkannya sama sekali. Sebenarnya banyak yang tidak bersikap seperti keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun. Kondisi ini dipicu dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi.
Jadi kesimpulannya penulis akan membahas mengenai bagaimana sebenarnya HAM dan Demokrasi menurut ajaran dan pandangannya islam dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud hukum islam?
b. Apa sumber hukum islam
c. Apa prinsip hukum islam?
d. Apa fungsi hukum islam?
e. Bagaimana demokrasi dalam islam dan dalam konsep barat?
f. Bagaimana hak dan kewajiban asasi dalam islam?
g. Apa saja kontribusi umat islam dalam perundang-undangan di Indonesia?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui yang dimaksud hukum islam
b. Mengetahui sumber hukum islam
c. Mengetahui prinsip hukum islam
d. Mengetahui fungsi hukum islam
e. Mengetahui demokrasi dalam islam dan dalam konsep barat
f. Mengetahui hak dan kewajiban asasi dalam islam
g. Mengetahui saja kontribusi umat islam dalam perundang-undangan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hukum Islam
2.1.1 Pengertian Hukum Islam
Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda.
Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
2.1.2 Sumber Hukum Islam
Hukum Islam terdiri dari dua sumber utama yakni al-Qur’an dan dari kitab-kitab hadis yang memuat sunnah Nabi Muhammad. Yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an tersebut kemudian dirumuskan dengan jelas dalam percakapan antara Nabi Muhammad dengan salah seorang sahabatnya yang akan ditugaskan untuk menjadi Gubernur di Yaman.
Di dalam hukum islam rujukan-rujukan dan dalil telah ditentukan sedemikian rupa oleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun yang bersifat alternatif. Sumber tertib hukum Islam ini secara umumnya dapat dipahami dalam firman Allah dalam QS. An-nisa: 59:
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia pada Allah (al quran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kapada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik (akibatnya)".(QS. An-nisa: 59)
Dari ayat tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan hukum agamanya harus didasarkan urutan:
1) Selalu menataati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang
berlaku dalam alquran.
2) Menaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya
3) Menaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat islam).
4) Mengenbalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan
dalam menetapkan hokum
Secara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber tertib hukum:
1) Al Quran
2) Sunah atau hadits Rasul
3) Keputusan penguasa; khalifah (ekseklutif), ahlul hallli wal‘aqdi
(legislatif), amupun qadli (yudikatif) baik secara individu maupun
masing- masing konsensus kolektif (ijma’)
4) Mencari ketentuan ataupun sinyalemen yang ada dalam al quran
kembali jika terjadi kontroversi dalam memahami ketentuan
hukum.
Dengan komposisi itu pula hukum islam dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:
1) Dalil Naqli yaitu Al Quran dan as sunah
2) Dalil Aqli yaitu pemikiran akal manusia
2.1.3 Prinsip Hukum Islam
Di dalam hukum islam ada beberap prinsip yang harus ditekankan dan dijalankan. Adapun prinsi hukum islam adalah sebagai berikut:
M. Yusuf Musa mengemukakan tiga prinsip dasar hukum Islam, yaitu: 1) tidak mempersulit dan memberatkan; 2) memperhatikan kesejahteraan manusia secara keseluruhan; dan 3) mewujudkan keadilan secara menyeluruh (Musa, 1988: 180-190). Sedang Fathurrahman Djamil mengemukakan lima prinsip dasar hukum Islam, yaitu: 1) meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan; 2) menyedikitkan beban; 3) ditetapkan secara bertahap; 4) memperhatikan kemaslahatan manusia; dan 5) mewujudkan keadilan yang merata (Djamil, 1997: 66-75).
2.2 Demokrasi Dalam Islam Dan Dalam Konsep Barat
2.2.1 Demokrasi Dalam Islam
Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang dengannya para cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu yang dapat dianggap demokratis. Didalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintahan.
Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam, banyak perhatian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam tradisi politik Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana Muslim dewasa ini. Namun, lepas dari konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi dikalangan masyarakat muslim.
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Oleh karena itu perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah. Hal ini disebabkan menurut ajaran Islam, setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah khalifah Allah di bumi. Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah, dalam surat Al-syura ayat 3 :
“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.(QS Asy-Syura : 38).
Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah demokrasi, yakni konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Dalam pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern.
Selain syura dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi Islam, yakni ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh Khursid Ahmad: “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya”. Itjihad dapat berbentuk seruan untuk melakukan pembaharuan, karena prinsip-prinsip Islam itu bersifat dinamis, pendekatan kitalah yang telah menjadi statis. Oleh karena itu sudah selayaknya dilakukan pemikiran ulang yang mendasar untuk membuka jalan bagi munculnya eksplorasi, inovasi dan kreativitas.
Dalam pengertian politik murni, Muhammad Iqbal menegaskan hubungan antara konsensus demokratisasi dan ijtihad. Dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam ia menyatakan bahwa tumbuhnya semangat republik dan pembentukan secara bertahap majelis-majelis legislatif di negara-negara muslim merupakan langkah awal yang besar. Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya.
2.2.2 Demokrasi Dalam Konsep Barat
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari kata demos “rakyat” dan kratos “kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa kota yang independen. Di setiap kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 kota (poleis) yang kecil dan independen. Kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Salah satunya Athena, kota yang mencoba sebuah model pemerintahan baru yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.
Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat harus melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.
Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :
a. Kebebasan beragama
b. Kebebasan berpendapat
c. Kebebasan kepemilikan
d. Kebebasan bertingkah laku
Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua negara yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di suatu negara. Namun, variasi yang ada hanyalah terjadi pada bagian cabang bukan pada prinsip tersebut.
2.3 Hak dan Kewajiban Asasi dalam Islam
Manusia adalah puncak ciptaan tuhan. Ia dikirim kebumi untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya. Oleh karena itu setiap perbuatan yang membawa perbaikan manusia oleh sesama manusia sendiri mempunyai nilai kebaikan dan keluhuran kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya, menyimpan kebenaran dan kebaikan universal, suatu nilai yang berdimensi kesemestaan seluruh alam.
Berdasarkan pandangan ini, maka manusia memikul beban serta tanggung jawab sebagai individu dihadapan Tuhan-Nya kelak, tanpa kemungkinan untuk mendelegasikannya kepada pribadi lain. Punya pertanggung jawaban yang dituntut dari seseorang haruslah didahului oleh kebebasan memilih. Tanpa adanya kebebasan itu lantas dituntut dari padanya pertanggung jawaban, adalah suatu kezaliman dan ketidakadilan, yang jelas hal itu bertentangan sekali dengan sifat Allah yang maha adil.
Berkaitan dengan penggunaan hak-hak individu itu, yang mempunyai hak dianggap menyalahgunakan haknya apabila:
1. Dengan perbuatannya dapat merugikan orang lain.
2. Perbuatan itu tidak menghasilkan manfaat bagi dirinya, sebaliknya
menimbulkan kerugian baginya.
3. Perbuatan itu menimbulkan bencana umum bagi masyarakat.
Dalam islam juga ada dasar-dasar hak asasi manusia menurut sumber dari Al-Quran, sebagai berikut:
a. Hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat Al-Qur’an menegaskan:
• “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S Ali-Imran/3:104)
• “Hendaklah kamu saling berpesan kepada kebenaran dan saling berpesan dengan penuh kesabaran” (Q.S Al-Ashr/103:3)
• “Berilah berita gembira kepada hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (Q.S Az-Zumar/39:17:18)
Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya kepada orang lain, mengingatkan kepada kebenaran, kebajikan serta mencegah kemungkaran. Bahkan hal itu disampaikan bukan saja karena ada hak tapi sekaligus merupakan suatu kewajiban sebagai orang beriman.
b. Hak kebebasan memilih agama
Sehubungan dengan kebebasan memilih agama dan kepercayaan, Al-Qur’an menyebutkan antara lain:
• “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang Ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S Al-Baqarah/2:256)
• “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…” (Q.S Al-kahfi/18:29)
• “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?“ (Q.S. Yunus/10:99)
Berdasarkan ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa masalah menganut suatu agama atau kepercayaan sepenuhnya diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk memilihnya. Didalam islam, kita hanya diperintah untuk berdakwah yang bertujuan menyeru, mengajak dan membimbing seseorang kepada kebenaran itu. Dakwah bertujuan juga untuk menegakkan “Al-Amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar” (menyeru kepada kebajikan serta mencegah dari kemjungkaran ).
c. Hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial
Sehubungan dengan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama ini Al-Qur’an menyebutkan sebagai berikut :
“ Dialah orang yang menjadikan segala yang ada dibumi ini untuk kamu…..” (Q.S Al-Baqarah/2:29)
Ayat ini menjadi dasar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa-apa yang sudah disiapkan Allah dipermukaan bumi ini. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk mendapatkan Rezki yang halal dan baik hal ini di tegaskan dalam firman-Nya :
“ Hai sekalian Manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi…..” (Q.S Al-Baqarah/2:168)
2.4 Kontribusi Umat Islam Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia nampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum Islamtelah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Dengan demikian, tampak bahwa hukum Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum nasional. la merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional. Sebagai sub sistem, hukum Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi yang dominan dalam rangka pengembangan dan pembaharuan hukum nasional yang mencerminkan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh Hukum Islam :
1. Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
2. Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah. Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi tersebut. Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah,menjadi pedoman pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.
3. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasari dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH].16 Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik[11].
4. Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
5. Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
6. Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
7. Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
8. Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh[12]
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) , jinayah (hukum pidana) , yang didasarkan atas syari'at Islam. Pengaturan lainnya tercantum pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai produk perundangan daerah menyusul diberlakukannya otonomi khusus bagi NAD, perda atau berbagai qanun yang diterapkan oleh pemerintahan aceh misalnya :
a. Qanun No.12/2003 tentang tentang larangan minuman keras yang pelakunya diancam hukuman cambuk empat puluh kali.
b. Qanun No.13/2003 tentang maisir (perjudian) pelakunya diancam hukuman cambuk minimal enam kali dan maksimal dua belas kali. Pelanggaran yang diakukan institusi diancam denda minimal 12 juta rupiah, maksimal 35 juta rupiah.
c. Qanun No.14/2003 tentang khalwat (mesum) yang salah satu pelakunya dikenai hukuman cambuk minimal tiga kali, maksimal 9 kali dan atau denda minimal 2,5 juta rupiah dan maksimal 10 juta rupiah
Qanun-qanun yang berlaku tersebut dilindungi oleh UU No.44/1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan aceh pasal 3 dan 4, UU No.18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Aceh dan UU pemerintahan aceh No. 11/2006 bab 17-18[13].
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syari'at Islam diperuntukkan bagi kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Dan cakupan syari'at Islam meliputi wilayah agama dan negara. syari'at Islam berlaku umum untuk seluruh umat manusia dan bersifat abadi sampai hari kiamat. Hukum-hukumnya saling menguatkan dan mengukuhkan satu sama lain, baik dalam bidang akidah, ibadah, etika maupun mu'amalah, demi mewujudkan puncak keridlaan Allah Swt, ketenangan hidup, keimanan, kebahagian, kenyamanan dan keteraturan hidup bahkan memberikan kebahagian dunia secara keseluruhan. Semua itu dilakukan melalui kesadaran hati nurani, rasa tanggung jawab atas kewajiban, perasaan selalu dipantau olehAllah Swt dalam seluruh sisi kehidupan, baik ketika sendirian maupun di hadapan orang lain, serta dengan memuliakan hak-hak orang lain. Lebih lanjut lagi, Syari'at Islam merupakan satusatunya syariat yang sesuai dengan perkembangan zaman, cocok untuk segala generasi, dan selaras dengan realitas kehidupan. Dalam prinsip-prinsip syariat Islam, terdapat kekuatan paripurna yang akan selalu membantu kita dalam menetapkan hukum yang selalu hidup, tumbuh, dan berkembang bagi kehidupan manusia dengan beragam latar-belakang budayanya. Syariat Islam yang dinamis sungguh menjamin rasa keadilan, ketenangan, dan kehidupan yang mulia dan bersih. Mampu membawa izzul Islam wal muslimin dalam bingkai Negara kesatuan republik Indonesia yang Baldatun Thoyibatun Wa Robbun Ghofur.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua mahasiswa yang sedang menempuh matakuliah Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Imron, Ali. 2008. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklifdan Mas`Uliyyat Dalam Legislasi Hukum). Semarang: Disertasi
Kosasih, Ahmad. 2003. HAM dalam perspektif ISLAM. Jakarta: Salemba Diniyah
Marzuki. Memahami Hakikat Hukum Islam. Jurnal
Saifullah. 2011. Islam Dan Demokrasi:Respon Umat Islam Indonesia Terhadap Demokrasi. Banda Aceh: Jurnal
Sudrajat, Ajat. Islam Dan Demokrasi (Masalah Adaptasi Parsial). Jurnal
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa (2009). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ed. VI. Cet. III.
Diajukan untuk memenuhi tugas
Matakuliah Agama
Dosen Pengampu: Muslim, S.Ag.,M.A
Disusun Oleh :
Muhammad Ilham Rahmatullah L (120401080003)
PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas makalah Agama yang berjudul “Hukum Islam, Demokrasi, dan HAM” tepat pada waktunya.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Seperti halnya pepatah “ tak ada gading yang tak retak “, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua kalangan yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Akhir kata, penyusun ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Serta berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.
Amin
Malang, 26 Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................ i
Daftar Isi ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Islam, Sumber Hukum Islam, Prinsip Hukum
Islam, dan Fungsi Hukum Islam ................................................... 4
2.2 Demokrasi dalam Islam dan dalam konsep barat ......................... 6
2.3 Hak dan Kewajiban Asasi dalam Islam ........................................ 9
2.4 Kontribusi Umat Islam dalam Perundang-undangan
di Indonesia .................................................................................. 12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................. 17
3.2 Saran ............................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada Saat ini banyak sekali Negara yang menganut Sistem Demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Demokrasi sendiri artinya sistem yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hukum. Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi dirinya sendiri dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab terhadap tugasnya. Oleh karena rakyat tidak mungkin rakyat mengambil keputusan karena jumlah terlalu besar maka dibentuklah dewan perwakilan rakyat. Sistem ini popular karena melibatkan masyarakat merupakan komponen utamanya.
Pemerintah dipilh langsung oleh rakyat yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi dan membuat kebijakan untuk kepentingan rakyat demi kesejahteraan rakyat. Sistem Demokrasi juga digunakan di Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Indonesia memiliki Badan Legislatif yang anggotanya merupakan wakil rakyat. Rakyat juga berwenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Dalam Islam, demokrasi sudah diajarkan oleh Rasulullah. Contohnya, pada saat Perang Badar beliau mendengarkan saran sahabatnya mengenai lokasi perang walaupun itu bukan pilihan yang diajukan olehnya. Pada saat ini, banyak Negara yang mengadaptasi sistem Demokrasi yang berasal dari Negara Barat. Padahal, sistem demokrasi tersebut belum tentu sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Sistem Demokrasi di Barat memiliki tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan materialistis. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari Sistem Demokrasi yang sejalan dengan aturan Islam.
Pada hakekatnya manusia sudah memiliki hak-hak pokok dari lahir sampai meninggal. Hak-hak pokok tersebut adalah hak asasi manuasia yang dikenal dengan HAM. Hak asasi manusia bersifat universal. Hak asasi manusia ( HAM ) dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu”. Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, status sosialnya, dan juga perbedaan agamanya. Islam tidak hanya menjadikan itu sebagai kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini.
Disisi lain umat Islam sering kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum bisa diterima secara utuh. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa timbal balik, sementara yang lain, justru bersikap ekstrim. Menolak bahkan mengharamkannya sama sekali. Sebenarnya banyak yang tidak bersikap seperti keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun. Kondisi ini dipicu dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi.
Jadi kesimpulannya penulis akan membahas mengenai bagaimana sebenarnya HAM dan Demokrasi menurut ajaran dan pandangannya islam dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud hukum islam?
b. Apa sumber hukum islam
c. Apa prinsip hukum islam?
d. Apa fungsi hukum islam?
e. Bagaimana demokrasi dalam islam dan dalam konsep barat?
f. Bagaimana hak dan kewajiban asasi dalam islam?
g. Apa saja kontribusi umat islam dalam perundang-undangan di Indonesia?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui yang dimaksud hukum islam
b. Mengetahui sumber hukum islam
c. Mengetahui prinsip hukum islam
d. Mengetahui fungsi hukum islam
e. Mengetahui demokrasi dalam islam dan dalam konsep barat
f. Mengetahui hak dan kewajiban asasi dalam islam
g. Mengetahui saja kontribusi umat islam dalam perundang-undangan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hukum Islam
2.1.1 Pengertian Hukum Islam
Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda.
Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
2.1.2 Sumber Hukum Islam
Hukum Islam terdiri dari dua sumber utama yakni al-Qur’an dan dari kitab-kitab hadis yang memuat sunnah Nabi Muhammad. Yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an tersebut kemudian dirumuskan dengan jelas dalam percakapan antara Nabi Muhammad dengan salah seorang sahabatnya yang akan ditugaskan untuk menjadi Gubernur di Yaman.
Di dalam hukum islam rujukan-rujukan dan dalil telah ditentukan sedemikian rupa oleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun yang bersifat alternatif. Sumber tertib hukum Islam ini secara umumnya dapat dipahami dalam firman Allah dalam QS. An-nisa: 59:
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia pada Allah (al quran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kapada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik (akibatnya)".(QS. An-nisa: 59)
Dari ayat tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan hukum agamanya harus didasarkan urutan:
1) Selalu menataati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang
berlaku dalam alquran.
2) Menaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya
3) Menaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat islam).
4) Mengenbalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan
dalam menetapkan hokum
Secara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber tertib hukum:
1) Al Quran
2) Sunah atau hadits Rasul
3) Keputusan penguasa; khalifah (ekseklutif), ahlul hallli wal‘aqdi
(legislatif), amupun qadli (yudikatif) baik secara individu maupun
masing- masing konsensus kolektif (ijma’)
4) Mencari ketentuan ataupun sinyalemen yang ada dalam al quran
kembali jika terjadi kontroversi dalam memahami ketentuan
hukum.
Dengan komposisi itu pula hukum islam dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:
1) Dalil Naqli yaitu Al Quran dan as sunah
2) Dalil Aqli yaitu pemikiran akal manusia
2.1.3 Prinsip Hukum Islam
Di dalam hukum islam ada beberap prinsip yang harus ditekankan dan dijalankan. Adapun prinsi hukum islam adalah sebagai berikut:
M. Yusuf Musa mengemukakan tiga prinsip dasar hukum Islam, yaitu: 1) tidak mempersulit dan memberatkan; 2) memperhatikan kesejahteraan manusia secara keseluruhan; dan 3) mewujudkan keadilan secara menyeluruh (Musa, 1988: 180-190). Sedang Fathurrahman Djamil mengemukakan lima prinsip dasar hukum Islam, yaitu: 1) meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan; 2) menyedikitkan beban; 3) ditetapkan secara bertahap; 4) memperhatikan kemaslahatan manusia; dan 5) mewujudkan keadilan yang merata (Djamil, 1997: 66-75).
2.2 Demokrasi Dalam Islam Dan Dalam Konsep Barat
2.2.1 Demokrasi Dalam Islam
Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang dengannya para cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu yang dapat dianggap demokratis. Didalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintahan.
Dalam penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual islam, banyak perhatian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam tradisi politik Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana Muslim dewasa ini. Namun, lepas dari konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi dikalangan masyarakat muslim.
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Oleh karena itu perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah. Hal ini disebabkan menurut ajaran Islam, setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah khalifah Allah di bumi. Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah, dalam surat Al-syura ayat 3 :
“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.(QS Asy-Syura : 38).
Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah demokrasi, yakni konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Dalam pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern.
Selain syura dan ijma’, ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi Islam, yakni ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh Khursid Ahmad: “Tuhan hanya mewahyukan prinsip-prinsip utama dan memberi manusia kebebasan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan arah yang sesuai dengan semangat dan keadaan zamannya”. Itjihad dapat berbentuk seruan untuk melakukan pembaharuan, karena prinsip-prinsip Islam itu bersifat dinamis, pendekatan kitalah yang telah menjadi statis. Oleh karena itu sudah selayaknya dilakukan pemikiran ulang yang mendasar untuk membuka jalan bagi munculnya eksplorasi, inovasi dan kreativitas.
Dalam pengertian politik murni, Muhammad Iqbal menegaskan hubungan antara konsensus demokratisasi dan ijtihad. Dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam ia menyatakan bahwa tumbuhnya semangat republik dan pembentukan secara bertahap majelis-majelis legislatif di negara-negara muslim merupakan langkah awal yang besar. Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya.
2.2.2 Demokrasi Dalam Konsep Barat
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari kata demos “rakyat” dan kratos “kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa kota yang independen. Di setiap kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 kota (poleis) yang kecil dan independen. Kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Salah satunya Athena, kota yang mencoba sebuah model pemerintahan baru yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.
Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat harus melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.
Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :
a. Kebebasan beragama
b. Kebebasan berpendapat
c. Kebebasan kepemilikan
d. Kebebasan bertingkah laku
Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua negara yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di suatu negara. Namun, variasi yang ada hanyalah terjadi pada bagian cabang bukan pada prinsip tersebut.
2.3 Hak dan Kewajiban Asasi dalam Islam
Manusia adalah puncak ciptaan tuhan. Ia dikirim kebumi untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya. Oleh karena itu setiap perbuatan yang membawa perbaikan manusia oleh sesama manusia sendiri mempunyai nilai kebaikan dan keluhuran kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya, menyimpan kebenaran dan kebaikan universal, suatu nilai yang berdimensi kesemestaan seluruh alam.
Berdasarkan pandangan ini, maka manusia memikul beban serta tanggung jawab sebagai individu dihadapan Tuhan-Nya kelak, tanpa kemungkinan untuk mendelegasikannya kepada pribadi lain. Punya pertanggung jawaban yang dituntut dari seseorang haruslah didahului oleh kebebasan memilih. Tanpa adanya kebebasan itu lantas dituntut dari padanya pertanggung jawaban, adalah suatu kezaliman dan ketidakadilan, yang jelas hal itu bertentangan sekali dengan sifat Allah yang maha adil.
Berkaitan dengan penggunaan hak-hak individu itu, yang mempunyai hak dianggap menyalahgunakan haknya apabila:
1. Dengan perbuatannya dapat merugikan orang lain.
2. Perbuatan itu tidak menghasilkan manfaat bagi dirinya, sebaliknya
menimbulkan kerugian baginya.
3. Perbuatan itu menimbulkan bencana umum bagi masyarakat.
Dalam islam juga ada dasar-dasar hak asasi manusia menurut sumber dari Al-Quran, sebagai berikut:
a. Hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat Al-Qur’an menegaskan:
• “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S Ali-Imran/3:104)
• “Hendaklah kamu saling berpesan kepada kebenaran dan saling berpesan dengan penuh kesabaran” (Q.S Al-Ashr/103:3)
• “Berilah berita gembira kepada hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (Q.S Az-Zumar/39:17:18)
Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapatnya kepada orang lain, mengingatkan kepada kebenaran, kebajikan serta mencegah kemungkaran. Bahkan hal itu disampaikan bukan saja karena ada hak tapi sekaligus merupakan suatu kewajiban sebagai orang beriman.
b. Hak kebebasan memilih agama
Sehubungan dengan kebebasan memilih agama dan kepercayaan, Al-Qur’an menyebutkan antara lain:
• “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang Ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S Al-Baqarah/2:256)
• “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…” (Q.S Al-kahfi/18:29)
• “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?“ (Q.S. Yunus/10:99)
Berdasarkan ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa masalah menganut suatu agama atau kepercayaan sepenuhnya diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk memilihnya. Didalam islam, kita hanya diperintah untuk berdakwah yang bertujuan menyeru, mengajak dan membimbing seseorang kepada kebenaran itu. Dakwah bertujuan juga untuk menegakkan “Al-Amru bil ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar” (menyeru kepada kebajikan serta mencegah dari kemjungkaran ).
c. Hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan sosial
Sehubungan dengan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama ini Al-Qur’an menyebutkan sebagai berikut :
“ Dialah orang yang menjadikan segala yang ada dibumi ini untuk kamu…..” (Q.S Al-Baqarah/2:29)
Ayat ini menjadi dasar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa-apa yang sudah disiapkan Allah dipermukaan bumi ini. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk mendapatkan Rezki yang halal dan baik hal ini di tegaskan dalam firman-Nya :
“ Hai sekalian Manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi…..” (Q.S Al-Baqarah/2:168)
2.4 Kontribusi Umat Islam Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia nampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum Islamtelah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Dengan demikian, tampak bahwa hukum Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum nasional. la merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional. Sebagai sub sistem, hukum Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi yang dominan dalam rangka pengembangan dan pembaharuan hukum nasional yang mencerminkan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh Hukum Islam :
1. Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
2. Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah. Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi tersebut. Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah,menjadi pedoman pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.
3. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasari dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH].16 Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik[11].
4. Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
5. Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
6. Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
7. Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
8. Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh[12]
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) , jinayah (hukum pidana) , yang didasarkan atas syari'at Islam. Pengaturan lainnya tercantum pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai produk perundangan daerah menyusul diberlakukannya otonomi khusus bagi NAD, perda atau berbagai qanun yang diterapkan oleh pemerintahan aceh misalnya :
a. Qanun No.12/2003 tentang tentang larangan minuman keras yang pelakunya diancam hukuman cambuk empat puluh kali.
b. Qanun No.13/2003 tentang maisir (perjudian) pelakunya diancam hukuman cambuk minimal enam kali dan maksimal dua belas kali. Pelanggaran yang diakukan institusi diancam denda minimal 12 juta rupiah, maksimal 35 juta rupiah.
c. Qanun No.14/2003 tentang khalwat (mesum) yang salah satu pelakunya dikenai hukuman cambuk minimal tiga kali, maksimal 9 kali dan atau denda minimal 2,5 juta rupiah dan maksimal 10 juta rupiah
Qanun-qanun yang berlaku tersebut dilindungi oleh UU No.44/1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan aceh pasal 3 dan 4, UU No.18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Aceh dan UU pemerintahan aceh No. 11/2006 bab 17-18[13].
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syari'at Islam diperuntukkan bagi kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Dan cakupan syari'at Islam meliputi wilayah agama dan negara. syari'at Islam berlaku umum untuk seluruh umat manusia dan bersifat abadi sampai hari kiamat. Hukum-hukumnya saling menguatkan dan mengukuhkan satu sama lain, baik dalam bidang akidah, ibadah, etika maupun mu'amalah, demi mewujudkan puncak keridlaan Allah Swt, ketenangan hidup, keimanan, kebahagian, kenyamanan dan keteraturan hidup bahkan memberikan kebahagian dunia secara keseluruhan. Semua itu dilakukan melalui kesadaran hati nurani, rasa tanggung jawab atas kewajiban, perasaan selalu dipantau olehAllah Swt dalam seluruh sisi kehidupan, baik ketika sendirian maupun di hadapan orang lain, serta dengan memuliakan hak-hak orang lain. Lebih lanjut lagi, Syari'at Islam merupakan satusatunya syariat yang sesuai dengan perkembangan zaman, cocok untuk segala generasi, dan selaras dengan realitas kehidupan. Dalam prinsip-prinsip syariat Islam, terdapat kekuatan paripurna yang akan selalu membantu kita dalam menetapkan hukum yang selalu hidup, tumbuh, dan berkembang bagi kehidupan manusia dengan beragam latar-belakang budayanya. Syariat Islam yang dinamis sungguh menjamin rasa keadilan, ketenangan, dan kehidupan yang mulia dan bersih. Mampu membawa izzul Islam wal muslimin dalam bingkai Negara kesatuan republik Indonesia yang Baldatun Thoyibatun Wa Robbun Ghofur.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua mahasiswa yang sedang menempuh matakuliah Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Imron, Ali. 2008. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklifdan Mas`Uliyyat Dalam Legislasi Hukum). Semarang: Disertasi
Kosasih, Ahmad. 2003. HAM dalam perspektif ISLAM. Jakarta: Salemba Diniyah
Marzuki. Memahami Hakikat Hukum Islam. Jurnal
Saifullah. 2011. Islam Dan Demokrasi:Respon Umat Islam Indonesia Terhadap Demokrasi. Banda Aceh: Jurnal
Sudrajat, Ajat. Islam Dan Demokrasi (Masalah Adaptasi Parsial). Jurnal
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa (2009). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ed. VI. Cet. III.
Comments
Post a Comment