Nama :
Muhammad Ilham Rahmatullah Luthfi
NPM :
120401080003
“Filsafat Dan
Bahasa”
1.
FILSAFAT DAN
BAHASA DALAM FENOMENOLOGI
Bahasa dan filsafat merupakan dua
sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang
senantiasa bersatu. Minat seseorang terhadap kajian bahasa bukanlah hal baru
sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya retorika Corax dan Cicero pada
zaman Yunani dan Romawi abad 4-2 SM hingga saat ini, bahasa merupakan salah
satu tema kajian filsafat yang sangat menarik.
Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam
ruang dunia filsafat dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru. Istilah ini
muncul sekitar abad 20-an, sehingga wajar apabila ditemukan kesulitan untuk
mendapatkan pengertian pasti mengenai apa sebetulnya yang dimaksud filsafat
bahasa (Hidayat, 2006:12).
Fenomenologi berasal dari bahasa
Yunani yaitu Phenomenon yang berarti tampak. Dalam bahasa
Indonesia fenomenologi sering diidentikkan dengan gejala. Oleh sebab itu aliran
fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan sesuatu yang menampakkan
diri.
Fenomenologi merupakan cara bagaimana seseorang
menggali pemahaman dari semesta kehidupan. Melalui fenomennologi, seseorang
terbuka untuk mengeksplorasi apa saja dalam kehidupan ini untuk kemudian
mendapatkan pengetahuan. Dengan fenomenologi, seseorang memiliki “alat
penggali” untuk mendapatkan pengetahuan.
Dalam pandangan filosofi
Merleau-Ponty, fenomenologi penting agar manusia mampu mencapai
esensi-esensi suatu persoalan. Merleau-Ponty lalu berbicara tentang keniscayaan
untuk melakukan reduksi fenomenologis, di mana suatu fakta atau dimensi
dibiarkan untuk tidak berhubungan dengan fakta atau dimensi lain. Pandangan ini
dapat dilukiskan dengan ilustrasi tentang seorang peneliti yang meneliti
kemiskinan. Jika sekiranya seorang peneliti tiba-tiba berhadapan dengan orang
miskin dan sang peneliti harus memahami kehidupan orang miskin tersebut, maka
sang peneliti tidak harus memperbandingkan kemiskinan yang sedang ia temui
dengan kemiskinan yang terjadi di tempat-tempat lain. Kemiskinan yang ditemukan
oleh seorang peneliti direduksi sedemikian rupa untuk tidak dikait-hubungkan
dengan kemiskinan dalam pengertiannya yang umum (common characteristic)
di ruang waktu yang lain.
2.
MERLEAU
PONTY (1908-1961): PERSEPSI DAN BAHASA
Pada dasarnya
kita berpikir dan bertindak berdasarkan sesuatu yang telah dilihat, didengar,
dirasa, dicium, dan diraba. Kelima hal inilah yang merupakan titik pangkal
eksistensi kita sebagai subjek yang bernama hidup. Kita akan menyimpulkan bahwa
Si X itu tampan, dan cantik setelah indra penglihatan kita mengamati wajah S X
dan kemudian menginternalisasikannya ke dalam pikiran. Selanjutnya pikiran
memberikan ukuran bahwa Si X itu tampan, cantik atau sebaliknya Si X kurang
tampan atau kurang cantik.
Demikian juga
dengan suara, suara Si X bisa termasuk ke dalam kategori bagus dan merdu
setelah indra pendengar mentransfer bunyi itu ke dalam pikiran dan terjadilah
sebuah keputuasan mengenai suara Si X.
Kelima indra
tersebut tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Indra
penglihatan tidak bisa dipisahkan dengan indra pendengar, indra pencium dengan
indra perasa, dan begitu juga dengan indra peraba dengan indra yang lain. Hal
ini karena kelima indra itu merupakan sarana pertimbangan ketika pikiran akan
memutuskan mengenai suatu hal. Di samping itu masing-masing indra tersebut akan
menentukan tingkat kebenaran mengenai sesuatu. Misalnya, kasus orang buta dan
orang tuli pada saat menonton televisi, orang yang buta mengira TV itu benda
yang hanya ada bunyinya dan tidak ada gambarnya, sedangkan orang tuli berpikir
sebaliknya.
Kasus tersebut
bisa juga dikaitkan dengan dua orang yang pada saat yang sama diminta untuk
menentukan gadis tercantik di antara lima gadis yang sama-sama cantik, secara
tidak langsung meskipun orang ini sama-sama normal akan tetapi pilihan mereka
kemungkinan cenderung berbeda. Bisa saja perbedaan tersebut, karena pengaruh
pikiran, perasaan, atau sudut pandang yang lain.
Intinya pikiran
akan selalu menjadi hakim atas segala keputusan yang akan diperbuat kita. Dalam
hal ini, pikiran akan mempertimbangkan mengenai gadis tersebut tentunya setelah
indra penglihatan, indra perasa, dan indra peraba telah melakukan pengamatan.
Dengan demikian, setelah pikiran mempertimbangkan dari masing-masing aspek
tersebut, pikiran akan memutuskan bahwa si X-lah yang tercantik di antara lima
gadis yang sama-sama cantik.
Kasus yang sama
Apabila ada
seseorang misalnya Si A ditanya mengenai lima gadis yang cantik dan disuruh
mencari gadis yang tercantik kemungkinan besar pilihan tersebut tidak sama
dengan Si B meskipun kedua-duanya sama-sama menggunakan pikiran dan mempunyai
indra normal dan lengkap. Untuk hal ini penulis mempunyai alasan yang berbeda.
Si A dan Si B yang mempunyai indra dan pikiran yang sama-sama normal namun
tingkat sensitifitas dan cara pandang mereka berdua tentu berbeda.
Ketika kedua
orang tersebut dimintai penjelasan tentang gadis yang mereka pilih, tentunya
kedua-duanya akan menguraikan dengan penjelasan yang logis dan cukup bijak.
Misalnya saja, mereka berdua dimintai alasan mulai dari raut wajah si gadis
pilihannya tersebut, Si A akan mengambil dari sekian objek yang ada pada wajah
si gadis dengan berusaha menillai dari segi kelebihan dan meminimkan
unsur-unsur kekurangan yang ada pada si gadis pilihnya tersebut, dabegitu juga
dengan Si B, dia akan akan mengambil objek yang ada pada gadisnya tersebut
dengan berusaha menilai dari segi kelebihan dan dan meminimkan unsur-unsur
kekurangan yang dimiliki gadisnya. Mengenai teknik yang mereka gunakan tentunya
berbeda karena mereka juga menggunakan sudut pandang yang berbeda tentagn si
gadis tersebut. Bisa saja Si B ini mulai menilai dari mata si gadis dengan
segala kelebihannya, dan menilai hidung dengan segala kelebihanya sampai pada
bagian terkecil yang tersembunyi pada wajah si gadis tersebut, dan bigitu pula
dengan Si A, yang mempunyai teknik berbeda di dalam menilai gadis yang telah
dipihnya tersebut.
Selanjutnya,
apabila ada seorang moderator yang meminta penjelasan Si A tentang gadis yang
telah dipilih Si B, tentunya Si A ini akan menilai dari segi kekurangannya
gadis dan meminimalkan unsur kelebihan terhadap gadis tercantik pilihan Si B,
dan begitu juga sebaliknya apabila Si B dimintai penjelasan tentang gadis
pilihannya Si A, maka tidak tertutup kemungkinan Si B ini akan bertindak
sebagaimana telah dilakukan Si A yakni dengan mengurai unsur kekurangannya dan
miminimalkan unsur kelebihan gadis pilihan Si B.
Dengan demikian
kedua orang tersebut telah memasukkan unsur subjektifitas di dalam menilai
gadis tercantik, dan inilah yang dimaksud penulis dengan cara pandang yang
berbeda di dalam menilai suatu objek. Kemudian bagaimana dengan sensitifitas
itu sendiri. Dalam hal ini sensitifitas itu berkenaan dengan kecepatan dan
kepekaan dalam menerima rangsangan yang kebenarannya diterima oleh umum.
Kecepatan dan kepekaan Si A yang telah menjatuhkan pilihan terhadap gadis yang
telah dipilihnya akan berbeda dengan kecepatan dan kepekaan Si B di dalam
memilih gadisnya. Bisa saja Si A lebih cepat daripada Si B atau justru
sebaliknya. Pertanyaan selanjutnya, apakah gadis yang dipilih Si A sudah sesuai
dengan penilaian masyakarakat pada umumnya atau justru sebaliknya. Kalau ia,
berarti penilaian si A terhadap gadis pilihannya ini telah sesuai dengan
anggapan masyarakat pada umumnya. Hal ini tidak cukup sampai di sini, yang
perlu dipertanyakan lagi, masyakat mana yang memberikan apresiasi positif itu,
dan bagaimana keadaan psikologis masyarakat itu. Hal inilah yang nantinya dan
sesuai dengan pernyataan Rusell menganai kebenaran nisbi atau relatif.
Kalau ilustrasi
di atas dikaitkan dengan keberadaan bahasa, tentunya akan menjadi sesuatu yang
sangat menarik tidak hanya bagi penulis melainkan juga bagi pembaca. Salah satu
penganut fenomenologi, Merleau Ponty dengan dasar filsafatnya ambiguitas pernah
mengatakan bahwa kita muncul meliputi badan roh dan roh badan. Begitu juga
dengan kemunculan bahasa, keberadaanya masih menjadi persepsi antara sebelum
dan setelah benda. Baginya dunia yang dialami (lebenswelt) sekarang ini tidak
hanya di dasarkan pada satu arti saja. Lebih lanjut Ponty mengatakan bahwa
pengatahuan kita bersifat fragmenter dan tempat-tempat terang selalu dipisahkan
dari tempat-tempat yang gelap1.
Pada awalnya
dasar ambiguitas yang dikembangkan Merleau Ponty ini ditujukan untuk
mengkritisi pemikiran objektifitas dari realisme dan pemikiran subjektifitas
dari idealisme. Bagi realisme, realitas semuanya ini dapat diketahui secara
objektif, ia tidak tergantung kepada kita dan merupakan keseluruan yang
tertutup. Sedangkan menurut pandangan idealisme tidak ada realitas yang
terlepas dari pemikiran, realitas itu sama dengan realitas yang dipikirkan.
Jika dikaitkan
dengan pandangan Merleu Ponty terhadap paham realisme dan idealisme maka yang
perlu disikapi lebih awal yakni bagaimana membuat paham yang masih berupa
fragmen tersebut menjadi suatu pemikiran yang utuh tentang realitas. Suatu
benda yang hadir sebagai realitas telah mempunyai satu kesatuan yang bersifat
kompleks. Misalnya penulis mengatakan ”gelas itu berisi air”, dalam waktu yang
sama wujud ”gelas dan air” tersebut menampakkan keberaannya yang nyata dengan
segala kondisi yang mempengaruhinya; baik itu berupa jarak, cahaya, letak, ddl.
Dengan demikian wujud itu ada berdasarkan keberadannya sendiri tidak
berdasarkan analogi kita.
Namun
sebaliknya, pandangan idealisme justru lebih percaya bahwa kalimat ”gelas itu
berisi air” tidak lain merupakan proses mental kita sebagai pemikir. Dengan
wacana lain, Idealisme lebih mengutamakan resional dari sekedar penampakan
realitas saja, karena bagi paham ini realitas tanpa keberadaan kita hanyalah
ada sekedarnya tanpa mempunyai makna.. Oleh karena itu, merupakan hal yang
mustahil pada saat yang sama realita yang ada di dalam pikiran tersebut
terbalik menjadi ”air itu berisi gelas”. Hal itu karena realitas dari ”gelas
itu berisi air” telah tergambar dalam pemikiran sesuai dengan realita yang ada.
Sebenarnya
kedua-duanya tersebut merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Realita membutuhkan pemikiran dan begitu juga dengan pemikiran membutuhkan
realita. Ralita tanpa adanya pemikiran tidak akan terungkap, sedangkan
pemikiran tidak akan menjadi sesuatu yang benar apabila strukttur yang ada di
dalamnya tidak sesuai dengan realita yang ada. Dengan demikian realita yang
menampakkan diri dan tertangkap serta akan menjadi sesuatu yang bersifat
terungkap manakala antara realita dan pikiran itu ada kelinieran, dan hal ini
disebut persepsi.
Istilah
”persepsi” atau ”pengamatan” yang dipakai Merleau Ponty tidak hanya didasarkan
pada satu pengertian, yakni pengamatan dengan mata telanjang; melainkan juga
terhadap suatu benda (objek) yang mempunyai hubungan dengan subjek (kita)
dengan dunia. Secara tidak langsung Ponty mengisyaratkan bahwa realita
(kelihatan secara fisik) tidak berarti apa-apa tanpa disertai pengatahuan yang
lain tentang realita tersebut.
Penjelasan
tersebut bisa diilustrasikan dengan kalimat ”gelas itu berisi kopi”. Realitas
menunjukkan bahwa gelas yang bentuknya bulat dan berwarna bening berisi cairan kopi
yang berwarna hitam sehingga warna gelas pun seaakan-akan berubah warnanya
menjadi hitam. Dari kasus ini dapat diurai lebih lanjut bahwa tanpa adanya
pengatahuan yang lebih mengenai realita (objek berupa gelas dan kopi) maka
realita tersebut hanyalah menjadi realita yang kebenarannya diterima oleh umum
tanpa bisa diketahui hakikat dan hukum kausalitasnya yakni, mengapa kopi
berwarna hitam dan kenapa warna gelas tersebut didominasi oleh warna kopi.
Selama ini kita
telah dipengaruhi oleh konvensi yang masih abstrak yang mungkin benar dan
mungkin juga salah tentang bahasa. Sebagian kita ada yang hanya menerima
kebenaran itu beritu saja tanpa mau berfikir kenapa bentuk bahasa bisa
sedemikian rupa, yakni kenapa Si A itu bernama Ali atau kenapa kalimat tersebut
berbunyi ”gelas itu berisi kopi” dan bukannya air itu berisi gelas, atau harus
mengikuti struktur logika bahasa.
Hal lain yang menjadi pijakan dari analisis persepsi ialah tentang pemaknaan. Konsep ini berhubungan erat dengan ”esensi” dan ”reduksi eidetis”. Adapun yang dimaksud dengan reduksi eiditis dalam hal ini adalah satu kesadaran yang mengarah kepada suatu aidos, sedangkan esensi merupakan suatu intuisi tentang hakikat.
Hal lain yang menjadi pijakan dari analisis persepsi ialah tentang pemaknaan. Konsep ini berhubungan erat dengan ”esensi” dan ”reduksi eidetis”. Adapun yang dimaksud dengan reduksi eiditis dalam hal ini adalah satu kesadaran yang mengarah kepada suatu aidos, sedangkan esensi merupakan suatu intuisi tentang hakikat.
Pada fase
tertentu atau pada saat kesadaran hadir untuk menyadari realita yang ada di
sekeliling kita dengan sendirinya pikiran berusaha mengungkapkan esensi dari
realita tersebut. ”gelas itu berisi kopi” pada intinya merupakan kalimat untuk
mengungkapkan realita dari gelas yang di dalamnya berisi kopi. Namun pada saat
yang sama realita tersebut bisa digantikan dengan ”kopi itu berada di dalam
gelas” yang juga mengungkapkan realitas yang sama.
Sekilas kedua
kalimat tersebut mempunyai kemiripan informasi akan tetapi esensi atau hakikat
yang menyertai masing-masing kalimat berbeda. Perbedaannya terletak pada
struktur gramatikal pada masing-masing kalimat tersebut. Pertama, ”gelas itu
berisi kopi” merupakan struktur yang terdiri dari (subjek, predikat, dan objek)
yang esensinya menerangkan wujud gelas dengan kondisi yang menyertainya, sedangkan
”kopi itu berada di dalam gelas” strukturnya berubah menjadi (subjek, predikat,
dan keterangan) yang esensinya menerangkan wujud kopi besarta kondisi yang
menyertainya.
Kaitannya
dengan sifat arbitrer terhadap realita, pandangan ini memberi kebebasan
mengenai realita yang akan dipersepsikan. Selebihnya, mengenai susunan
kalimatnya tetap bersandar pada keberadaan realita. Kita diperbolehkan
menyatakan ”kopi itu berada di dalam gelas” karena memang keberadaan kopi
tersebut di dalam gelas, dan kita boleh menyatakan ”gelas itu berisi kopi”
karena keberadaannya memang demikian, dan yang perlu kita pahami yaitu mengenai
susunanya yang tidak boleh bertentangan dengan hukum logika. Apakah kopi yang
akan kita jadikan subjek ataukah gelas yang akan kita jadikan subjek itu
tergantung kita sebagai pemersepsi.
Kaitannya
dengan paham ini penulis mempunyai suatu pandangan terhadap persepsi yakni
mengenai ’kebenaran sejalan’. Maksud dalam hal ini bahwa masing-masing
kebenaran terhadap satu realita ada titik temunya.
Kamar itu berisi meja makan
Meja makan itu berisi piring
Piring itu berisi ikan
Ikan itu berisi daging Meja makan
itu berada di dalam kamar
Piring itu berada di atas meja
makan
Ikan itu berada di atas piring
Daging itu berada di dalam ikan
Comments
Post a Comment